LasserNewsToday, Manila (Filipina) |
Presiden Filipina, Rodrigo Duterte tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan perang berdarah negara itu terhadap narkoba yang direncanakan oleh Internasional Criminal Court (ICC) – Pengadilan Kriminal Internasional – demikian disampaikan oleh Juru Bicara Presiden Filipina, Selasa (15/06/2021), sementara keluarga para korban mendukung langkah tersebut.
Normita Lopez, yang putranya menjadi korban kampanye anti-narkoba, mengatakan dia tidak bisa menahan kebahagiannya ketika dia mengetahui tentang permintaan Jaksa ICC untuk membuka penyelidikan penuh atas pembunuhan tersebut.
“Saya senang karena saya menyadari bahwa keadilan tidak pernah tidur.” Kata Lopez (56), yang termasuk di antara banyak pengadu ke ICC yang menyerukan dakwaan internasional Duterte atas ribuan dugaan pembunuhan di luar proses hukum.
“Tuhan tidak tidur, Dia selalu menemukan jalan.” Kata wanita yang putranya berusia 23 tahun terbunuh pada Mei 2017 karena diduga melawan penangkapan selama operasi sengatan.
Seperti yang diungkapkan oleh kelompok Hak Asasi Manusia yang menggambarkan bahwa hal ini sebagai langkah penting menuju keadilan. Jaksa ICC meminta pengadilan, Senin (14/06/2021), untuk mengizinkan penyelidikan penuh atas pembunuhan dalam perang brutal terhadap narkoba, yang dilepaskan oleh Duterte ketika ia menjabab pada 2016. Sejak itu, pasukan keamanan Filipina mengatakan bahwa mereka telah membunuh 6.117 tersangka pengedar narkoba karena mereka melawan dengan kekerasan, tetapi kelompok Hak Asasi Manusia mengatakan pihak berwenang telah mengeksekusi tersangka narkoba.
Duterte, yang pada Maret 2018 membatalkan keanggotaan Filipina dalam perjanjian pendirian ICC, tidak akan bekerja sama dengan penyelidikan itu, demikian kata Juru Bicara Presiden, sambil menolak temuan Jaksa ICC.
“Kami tidak akan bekerja sama karena kami bukan lagi anggota.” Kata Juru Bicara, Harry Roque dalam konferensi pers, Selasa (15/06/2021).
“Di bawah undang-undang (statuta) ICC, ICC memiliki yuridiksi untuk kejahatan yang dilakukan saat sebuah negara menjadi anggota hingga satu tahun setelah negara itu berusaha menarik diri – dalam kasus ini antara tahun 2016 dan 2019 – ketika penarikan Filipina menjadi resmi.
Kepala Jaksa ICC, Fatou Bensouda mengatakan pada Senin (14/06/2021), bahwa dia telah menyelesaikan pemeriksaan pendahuluan atas pembunuhan tersebut dan telah meminta izin dari pengadilan untuk penyelidikan penuh.
Dia juga mengatakan bahwa Desember lalu ada alasan yang masuk akal untuk percaya kejahatan terhadap kemanusiaan, telah dilakukan selama penumpasan berdarah anti-narkotika Duterte, dimana jumlah kematiannya telah memicu kemarahan internasional.
Serangkaian cerita Reuters pada 2016 dan 2017 mengungkap pembunuhan brutal yang dilakukan di Filipina sebagai bagian dari perang melawan narkoba. Banyak dari kisah-kisah ini dirujuk dalam laporan ICC pada pemeriksaan pendahuluannya.
Hal ini terdapat pada seri 2016: https://www.reuters.com/investigates/section/philippines-duterte/ dan seri 2017 https://www.reuters.com/investigates/section/philippines-drugs/
Populer di “Rumah Sendiri”
Terlepas dari kekhawatiran masyarakat internasional tentang tindakah keras terhadap narkoba, Duterte tetap populer di dalam negeri dan banyak orang Filipina mendukung sikap kerasnya terhadap kejahatan.
Masa jabatan tunggalnya selama enam tahun sebagai Presiden, yang akan berakhir pada Juni tahun depan (2022), dan analis politik mengatakan bahwa dia ingin sekutu memenangkan kursi kepresidenan untuk melindunginya dari tantangan hukum potensial dan dendam politik begitu dia kehilangan kekebalan dari jabatannya.
“Kami tidak membutuhkan orang asing untuk menyelidiki pembunuhan dalam perang narkoba karena sistem hukum bekerja di Filipina.” Kata Roque, seraya menambahkan bahwa dia yakin meluncurkan penyelidikan resmi ‘salah secara hukum dan bermotif politik’.
Roque mengatakan, “Polisi menggunakan kekuatan yang tepat dan ‘tidak ada niat untuk menargetkan dan membunuh warga sipil’.”
Sebuah badan anti narkoba Pemerintah mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa kasus-kasus yang diajukan terhadap petugas yang bersalah sedang ditangani dan membantah ada ‘kebijakan yang mengizinkan, mentolerir, dan memaafkan pembunuhan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia lainnya.
Akan tetapi, Randy Delos Santos, paman dari Kian Delos Sandos, salah seorang siswa Sekolah Menengah yang dibunuh oleh petugas Polisi pada Agustus 2017, mengatakan bahwa dia menolak untuk mempercayai klaim Pemerintah, yaitu bahwa korban telah melawan. Dia berharap laporan tentang kematian keponakannya, yang merupakan bagian dari laporan ICC, akan membuka jalan bagi keluarga korban perang narkoba lainnya untuk mendapatkan keadilan.
“Saya menyambut baik ICC (langkah kejaksaan). Banyak yang mati (dalam perang narkoba). Saya merasakan penderitaan keluarga lain.” Kata Delos Santos kepada Reuters.
[Sumber: Reuters: Reporter & Penulis: Neil Jerome Morales; Editor: Clarence Fernandez; Alih bahasa: Marolop Nainggolan-LNT].
(MN-Lnsr/ed. MN-Red)
Discussion about this post