LasserNewsToday, Tunis (Tunisia) |
Ribuan warga pengunjuk rasa yang didukung oleh serikat buruh Tunisia yang kuat, berkumpul di pusat Kota Tunis pada Sabtu (06/02/2021) dalam demonstrasi terbesar di negara itu selama bertahun-tahun, menentang lockdown (penguncian) polisi yang memblokir jalan-jalan di sebagian besar wilayah ibu kota.
Unjuk rasa ini diadakan untuk memperingati pembunuhan seorang aktivis terkemuka tahun 2013 dan memprotes pelanggaran polisi yang menurut para demonstran telah membahayakan kebebasan yang dimenangkan dalam revolusi 2011 yang memicu ‘Musim Semi Arab’.
Polisi anti huru-hara mengarahkan penjagaan di skitar pusat kota, menghentikan kedua mobil dan banyak orang memasuki jalan-jalan di sekitar Avenue Habib Bourguiba ketika ribuan orang berkumpul. Demikian dikaakan oleh seorang saksi mata Reuters.
“Saya hidup 10 tahun dalam kebebasan … Saya tidak siap kehilangannya.” Kata Haytem Ouslati, seorang demonstran berusia 24 tahun. Para pengunjuk rasa mengangkat plakat yang mengutuk kekerasan polisi dan meneriakkan, “Jangan takut! Jalan itu milik rakyat!”
Tidak seperti pawai sebelumnya dalam gelombang protes yang telah menyebar di seluruh Tunisia dalam beberapa pekan terakhir. Unjuk rasa hari Sabtu lalu didukung oleh serikat UGTT, organisasi politik paling kuat di negara itu dengan satu juta anggota.
Samir Cheffi, seorang pejabat senior UGTT mengatakan protes itu diperlukan untuk melindungi kebebasan.
“Hari ini adalah seruan peringatan untuk mempertahankan revolusi, untuk melindungi kebebasan yang terancam.” Katanya.
Protes yang dimulai bulan lalu karena ketidaksetaraan itu semakin fokus pada sejumlah besar penangkapan dan laporan – yang dibantah oleh Kementerian Dalam Negeri – tentang pelecehan terhadap tahanan.
Mohammed Ammar, anggota Parlemen untuk Partai Attayar, mengatakan bahwa dia telah menelepon Perdana Menteri untuk memprotes penutupan pusat Kota Tunis.
Para pengunjuk rasa meneriakkan protes terhadap Partai Islamis Moderat Ennahda, anggota koalisi Pemerintah berturut-turut, dan mencela slogan ‘Musim Semi Arab’: “Rakyat menginginkan jatuhnya rezim.”
Satu dekade setelah revolusi Tunisia, sistem politiknya terperosok dalam pertengkaran tanpa akhir antara Presiden, Perdana Menteri, dan Parlemen, sementara ekonomi sedang mandek.
Sementara itu, beberapa warga Tunisia, kecewa dengan hasil pemberontakan, merindukan masa otokrasi, yang lain mencela erosi yang dirasakan terhadap kebebasan yang diamankan oleh demokrasi.
Bagi sebagian orang, iklim yang panas mengingatkan kembali polarisasi politik setelah seorang tersangka Islamis garis keras membunuh aktivis sekuler dan Pengacara, Chokri Belaid pada Februari 2013.
Kematiannya memicu gelombang protes di Tunisia yang mengarah pada tawar-menawar besar antara partai-partai politik Islam dan sekuler untuk menghentikan negara itu tenggelam dalam kekerasan.
“Kami tidak akan menerima Tunisia menjadi barak. Kami meminta Presiden untuk ikut campur tangan dan melindungi kebebasan.” Kata Naima Selmi, seorang perempuan dalam protes tersebut.
[Sumber: Reporter; Reporter: Tarek Amara; Penulis: Angus McDowall: Editor: Frances Kerry dan David Holmes: Alih bahasa: Marolop Nainggolan-LNT]
(LNT-Lnsr/ed. MN-Red)
Discussion about this post