LasserNewsToday
Sabtu, 4 Februari 2023
  • HOME
  • BERITA
    • Artikel
    • Opini
    • Nasional
    • Jabodetabek
    • Lingga
    • Sumut
    • Seputar Kota
    • Medan
    • Siantar
    • Simalungun
    • TNI-Polri
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
    • Entertainment
    • Inspirasi
    • Kisah
    • Wisata
    • Kuliner
  • OLAHRAGA
  • TEKNOLOGI
    • Gadget
    • Internet
    • Aplikasi
  • TIPS
    • Tips Sehat
    • Manfaat
  • IKLAN
No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
    • Artikel
    • Opini
    • Nasional
    • Jabodetabek
    • Lingga
    • Sumut
    • Seputar Kota
    • Medan
    • Siantar
    • Simalungun
    • TNI-Polri
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
    • Entertainment
    • Inspirasi
    • Kisah
    • Wisata
    • Kuliner
  • OLAHRAGA
  • TEKNOLOGI
    • Gadget
    • Internet
    • Aplikasi
  • TIPS
    • Tips Sehat
    • Manfaat
  • IKLAN
No Result
View All Result
LasserNewsToday
No Result
View All Result
  • News
  • Siantar
  • Simalungun
  • Medan
  • Sumut
  • Kepri
  • Jabodetabek
  • Nasional
  • TNI-POLRI

Koalisi Masyarakat Sipil: Melawan Kekerasan Berbasis Agama Harus Dengan Tetap Memperhatikan Prinsip Negara Hukum

by REDAKSI
Rabu, 30 Desember 2020
552
SHARES
3.7k
VIEWS
Share on WhatsAppShare on FacebookShare on TwitterShare to mail

LasserNewsToday, Jakarta |

Pernyataan Koalisi Masyarakat Sipil akan SKB Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan FPI Bertentangan Dengan Prinsip- Prinsip Negara Hukum

Pada Hari Ini, 30 Desember 2020 Pemerintah Republik Indonesia Mengumumkan “Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol Dan Atribut Serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam” dengan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Jaksa Agung Republik Indonesia Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.

Berbagai organisasi Masyarakat Sipil selama ini turut mengecam berbagai kekerasan, provokasi kebencian, sweeping, serta pelanggaran-pelanggaran hukum lain yang dilakukan FPI. Berbagai organisasi tersebut juga meminta Aparat Penegak Hukum serta negara melakukan tindakan-tindakan penegakkan hukum terhadap orang-orang yang melakukan tindakan kekerasan tersebut. Kekerasan oleh siapapun perlu diadili, tetapi tidak serta merta organisasinya dinyatakan terlarang melakukan kegiatan-kegiatan yang tidak melanggar hukum. Narasi yang menganjurkan kekerasan dan provokasi kebencian sebagaimana dipertontonkan organisasi seperti FPI selayaknya ditindak tegas tanpa mengabaikan prinsip negara hukum. Negara tidak boleh tunduk pada narasi kebencian namun di sisi lain, Negara harus menegakkan prinsip kebebasan berserikat dan berorganisasi di negara hukum berlandaskan rule of law.

Namun, Surat Keputusan Bersama tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut, serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (selanjutnya disingkat SKB FPI) bertentangan dengan prinsip- prinsip negara hukum, khususnya terkait kebebasan berkumpul dan berserikat.

SKB FPI tersebut, salah satunya, didasarkan pada UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 16 Tahun 2017 (selanjutnya disingkat UU Ormas) yang secara konseptual juga sangat bermasalah dari perspektif negara hukum. UU Ormas memungkinkan pemerintah untuk membubarkan organisasi secara sepihak tanpa melalui proses peradilan (due process of law).

Setidaknya terdapat beberapa permasalahan dalam SKB tersebut.

Pertama, pernyataan bahwa organisasi yang tidak memperpanjang atau tidak memiliki Surat Keterangan Terdaftar (SKT), dalam hal ini Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi yang secara de jure bubar, tidaklah tepat. Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 telah menyatakan bahwa Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 18 UU Ormas, yang mewajibkan organisasi memiliki SKT, bertentangan dengan UUD 1945. Konsekuensinya, organisasi yang tidak memiliki SKT dikategorikan sebagai “Organisasi yang tidak terdaftar”, bukan dinyatakan atau dianggap bubar secara hukum.

Penggunaan istilah de jure untuk menyatakan suatu organisasi bubar karena tidak terdaftar atau tidak memperpanjang SKT harus didasarkan pada dasar legalitas yang jelas. Namun kenyatannya, baik Putusan MK No. 82/PUU-XI/2013 maupun UU Ormas tidak menentukan ataupun mengatur hal tersebut.

Dalam bagian pertimbangan putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi bahkan menyatakan: “Berdasarkan prinsip kebebasan berkumpul dan berserikat, suatu Ormas yang tidak mendaftarkan diri pada instansi pemerintah yang berwenang tidak mendapatkan pelayanan dari pemerintah (negara), tetapi negara tidak dapat menetapkan Ormas tersebut sebagai Ormas terlarang, atau negara juga tidak dapat melarang kegiatan Ormas tersebut sepanjang tidak melakukan kegiatan yang mengganggu keamanan, ketertiban umum, atau melakukan pelanggaran hukum”.

Kedua, oleh karena FPI tidak dapat dinyatakan bubar secara de jure hanya atas dasar tidak memperpanjang SKT, maka pelarangan terhadap kegiatan serta penggunaan simbol dan atribut FPI pun tidak memiliki dasar hukum. Pasal 59 UU Ormas hanya melarang kegiatan yang pada intinya mengganggu ketertiban umum dan/atau melanggar peraturan perundang-undangan. UU Ormas tidak melarang suatu organisasi kemasyarakatan untuk berkegiatan sepanjang tidak melanggar ketentuan Pasal 59 tersebut.

Terhadap para anggota FPI yang selama ini melakukan kegiatan yang melanggar peraturan perundang-undangan seperti penggunaan kekerasan dan sebagainya, penegak hukum seharusnya sejak awal menindak para pelaku dengan pasal- pasal dalam KUHP secara konsisten, bukan justru melakukan pembiaran terhadap individu- individu yang melanggar dan menunggu pemerintah membubarkan organisasi FPI.

Selain itu, terkait larangan penggunaan simbol dan atribut FPI, Pasal 59 ayat (4) UU Ormas melarang penggunaan nama, lambang, bendera, atau simbol organisasi separatis atau organisasi terlarang. Namun, UU Ormas sama sekali tidak memberikan definisi ataupun penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan organisasi terlarang. Yang secara de Facto dapat menimbulkan mispersepsi atau pemahaman yang rancu bagi masyarakat luas

Ketiga, SKB FPI menjadikan UU Ormas yang bermasalah secara konseptual sebagai dasar hukum. Sejak UU No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan diubah dengan Perppu No. 2 Tahun 2017 dan kemudian disahkan menjadi UU No. 16 Tahun 2017, prosedur pembubaran organisasi kemasyarakatan tidak lagi melalui mekanisme peradilan, tetapi hanya dilakukan sepihak oleh pemerintah. Sejak perubahan tersebut, setidaknya sudah dua organisasi dibubarkan, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Perkumpulan ILUNI UI.

Penggunaan UU Ormas untuk membubarkan organisasi secara sepihak jelas bertentangan dengan prinsip negara hukum yang mengutamakan pelindungan hak-hak warga, dalam hal ini kebebasan berkumpul dan berserikat. Seharusnya, mekanisme penjatuhan sanksi termasuk berupa pembubaran terhadap organisasi, dilakukan melalui mekanisme peradilan. Hal ini mengingat bahwa, pada dasarnya, setiap kesalahan subjek hukum harus dibuktikan terlebih dahulu di hadapan pengadilan sebelum subjek hukum tersebut dijatuhi sanksi.

Penjatuhan sanksi, pelarangan kegiatan, ataupun pembubaran organisasi secara sepihak oleh negara dengan menggunakan UU Ormas sebagai dasar hukum, sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip negara hukum, membatasi kebebasan sipil, serta berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Ketentuan tersebut berpotensi disalahgunakan oleh siapapun yang menjadi penguasa untuk membungkam organisasi- organisasi warga baik berbentuk perkumpulan, yayasan, maupun organisasi tidak berbadan hukum yang dianggap terlalu kritis, bertentangan, atau memiliki pendapat berbeda dengan pemerintah. Hal ini menambah catatan, dimana dalam 5 (lima) tahun terakhir, situasi dan kondisi demokrasi dinilai oleh banyak lembaga dan para akademisi terus menurun dan mengarah pada otoritarianisme baru.

Bahwa organisasi yang melakukan kekerasan, vigilantisme, provokasi kebencian, perlu diatasi untuk setiap tindakannya dengan tegas dan konsisten. Pembubaran seperti ini secara jangka panjang tidak efektif untuk mengatasi kekerasan sipil, provokasi kebencian, dsb, bahkan menggerogoti sendi- sendi demokrasi Indonesia. Mungkin justru akan membuat bom waktu .

Selain itu, ketiadaan mekanisme hukum, dalam hal ini proses pengadilan, akan memunculkan preseden dalam menindak organisasi-organisasi lain secara subjektif. Terlebih, tindakan yang diambil berangkat dari keputusan bersama 6 (enam) kementerian yang apabila merunut pada rekam jejak pembubaran berbagai hal secara sepihak oleh Negara, kerap memunculkan stigmatisasi pada individu atau kelompok tertentu yang kemudian mendapat tindakan sewenang- wenang. Contoh, pembubaran diskusi (Marxisme), penangkapan orang dengan kaos bertuliskan PKI (Pecinta Kopi Indonesia) hingga stigmatisasi dan persekusi terhadap kelompok LGBT.

Jakarta, 30 Desember 2020
Hormat Kami

KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan, Institute Perempuan, LBH Masyarakat (LBHM), Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers), PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesa), PSHK (Pusat Studi Hukum & Kebijakan), SAFENET (Southeast Asia Freedom of Expression Network), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), YPII (Yayasan Perlindungan Insani Indonesia)

(LNT/Red)

SendShare221Tweet138Send

Artikel Terkait

Proses pembuatan spanduk pecel lele lukis oleh pengrajin, Hartono. (Foto: Kumparan.com/Dok. Hartono)

Hartono Bangun Bisnis Lukis Spanduk Pecel Lele dengan Omzet Puluhan Juta Rupiah

16 November 2022

LasserNewsToday, Tahun 1970-an, kuliner pecel lele khas Lamongan mulai hadir di Jakarta, dan hingga kini berkembang ke seluruh Indonesia. Eksistensi...

Prof. Dr. H Sumaryoto, Rektor Unindra

Unindra Kini Berusia 17 Tahun Lakukan Persiapan Menjadi Universitas Yang Unggul Dalam Pembelajaran di Tahun 2029

14 September 2021

LasserNewsToday, Jakarta | Universitas Indra Prasta PGRI (Unindra) kini telah berusia 17 Tahun dan Dies Natalis 18 Tahun tepatnya pada...

Discussion about this post

TRENDING

  • Inilah Jenis Ulat yang Bisa Berubah Menjadi Kupu-kupu Super Cantik

    987 shares
    Share 395 Tweet 247
  • Sah..!! Ini Dia Nama 72 Kepala Desa Sekabupaten Simalungun Yang Dilantik Bupati Simalungun DR JR Saragih SH MM

    860 shares
    Share 344 Tweet 215
  • Selain Beroperasi & Ongkos Berlipat, Paradep Taxi Jamin Penumpang Bebas Penyekatan Tanpa Rapid Test

    934 shares
    Share 374 Tweet 234
  • Gawat..!! Graha Sikhar Tidak Aman Bagi Pengunjung Yang Ingin Menginap

    792 shares
    Share 392 Tweet 167
  • Beutamin Hydrogen Plus Bukan Herbal Melainkan Detoks Air Dari Produk Biovital Sembukan Berbagai Penyakit

    1073 shares
    Share 429 Tweet 268
  • Tempat Hiburan Malam Studio 21 Milles dan Braga Yang Diduga Sarang Peredaran Ekstasi Di Razia Satnarkoba Polresta Siantar

    1376 shares
    Share 550 Tweet 344
  • Contact
  • Terms
  • Disclaimer
  • Kode Etik
  • Pedoman
  • Policy

© 2018-2021 Lasser News Today

wisata indonesia - destinasi wisata terpopuler Rotasi Asia - Berita Terkini Spot Wisata Danau Toba TerbaikBarak ID

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
    • Artikel
    • Opini
    • Nasional
    • Jabodetabek
    • Lingga
    • Sumut
    • Seputar Kota
    • Medan
    • Siantar
    • Simalungun
    • TNI-Polri
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
    • Entertainment
    • Inspirasi
    • Kisah
    • Wisata
    • Kuliner
  • OLAHRAGA
  • TEKNOLOGI
    • Gadget
    • Internet
    • Aplikasi
  • TIPS
    • Tips Sehat
    • Manfaat
  • IKLAN

© 2018-2021 Lasser News Today

wisata indonesia - destinasi wisata terpopuler Rotasi Asia - Berita Terkini Spot Wisata Danau Toba TerbaikBarak ID