LasserNewsToday, Jakarta |
Menyikapi temuan Tim investagi soal pembangunan Rusunawa PUPR di Padang dan Palembang dan beberapa kota di Sumatera tahun 2019, yang banyak berujung penghentian pekerjaan atau cut off, hal ini dikatakan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman yang mengungkapkan bahwa sistem pengadaan pekerjaan 11.000 paket di Kementerian PUPR sejak tahun 2019 yang dipusatkan di Balai Pelaksana Pemilihan Jasa Konstruksi (BP2JK) yang berada di bawah koordinasi Direktorat Bina Konstruksi Kementerian PUPR, diduga ada masalah besar yang berpotensi merugikan negara.
“Sehingga wajar muncul banyak perusahaan abal-abal yang bisa memenangkan paket pekerjaan, sedangkan perusahaan yang sudah membuktikan bisa menyelesaikan pekerjaan dengan baik dan tepat waktu, malah tersingkirkan,” ungkap Yusri kepada redaksi media ini. Kamis (20/8/2020).
Menurut Yusri, modusnya adalah dengan memenangkan perusahaan abal-abal, yang dilakukan oknum-oknum Pokja di balai di bawah kendali oknum di Dit Bina Konstruksi. “Saya menduga semua elit-elit di Kementerian PUPR mengetahuinya. Lazimnya oknum oknum di BP2JK dan Dit Binkon itu malah membuat proposal teknis dan harga untuk perusahaan yang akan dimenangkan, dengan cara sudah mendapat password dari perusahaan yang sudah disepakati sebagai pemenang untuk bisa mengunggah dokumen teknis dan harga setiap perusahaan yang sudah dirancang akan dimenangkan, maka akan sering terjadi proses upload post bidding, atau melampaui batas waktu pemasukan dokumen, untuk menyempurnakan proposal teknis dan harga dari perusahaan yang akan dimenangkan,” beber Yusri.
Maka, lanjut Yusri, akan sering terjadi laman LPSE tentang status tender setiap pekerjaan di PUPR, berada dalam kondisi tak bisa diakses oleh semua perusahaan yang ikut tender untuk bisa setiap saat memonitor perkembangan tender tersebut.
“Kalau ada protes dari rekanan, anggota panitia hanya dengan ringan mengatakan server lagi bermasalah, padahal oknum-oknum mafia tender ini lagi bekerja menyempurnakan dokumen perusahaan yang sudah menang tetapi disanggah oleh kompetitornya,” ungkap Yusri.
Dikatakan Yusri lagi, perusahaan pemenang hasil operasi mafia tersebut, biasanya ditawarkan untuk diperjualbelikan dengan nilai 8% sampai dengan 12% dari total nilai kontrak, dan harus dibayar seketika setelah sudah sepakat, disertai memberikan kuasa direksi kepada pengusaha pembeli proyek.
Selain itu, kata Yusri, dari rumor berkembang, bahwa pembeli proyek harus juga menyisihkan persenan juga untuk oknum pejabat PUPR selama pekerjaan berlangsung. “Jadi, semua itu dimakan oknum-oknum ini,” tukas Yusri.
Lebih lanjut, kata Yusri, pengusaha yang berhasil membeli pekerjaan dari perusahaan yang sudah memang dan dibuat kontraknya oleh PPK, karena pengusaha itu kemampuan dananya terbatas, sehingga di dalam memulai pekerjaan di lapangan sangat tergantung mengharapkan dapat uang muka kerja sebesar 20% dari nilai kontrak.
“Lazimnya dana ini baru turun dari bendahara keuangan negara sekitar 1,5 sampai dengan 2 bulan dari tanggal kontrak setelah memberikan jaminan pelaksanaan. Sehingga kalau masa kontrak pekerjaan itu hanya empat bulan, sudah tentu dengan sisa waktu dua bulan yang bisa dikerjakan, hanyalah sebatas pondasi dasar dan tiang-tiang saja sudah bagus,” lanjut Yusri.
Akibatnya, kata Yusri, sudah pasti pekerjaan itu harus dihentikan atau cut off menjelang batas waktu akhir anggaran 31 Desember sesuai APBN. “Untuk mensiasati temuan BPK dan publik akibat cut off itu, lazimnya kontraktor berkolusi dengan oknum PPK untuk membuat justifikasi supaya tidak membuat cacat reputasi perusahaan tersebut bisa masuk daftar black list dan pejabat PPK juga bisa kena, yaitu dengan membuat alasan yang diada-adakan supaya masuk akal. Contohnya lokasi bangunan Rusunawa ada kebijakan pindah lokasi ketika kontrak sudah dibuat, sehingga butuh waktu untuk bisa dimulai pekerjaan gali pondasi, padahal yang terjadi adalah hanya untuk melindungi perusahaan yang modal terbatas dan hanya mengharap turunya uang muka pekerjaan dari tagihan ke kas negara,” beber Yusri.
“Untuk membuktikan dugaan saya tersebut diatas sangatlah mudah, Penegak Hukum Kejaksaan atau KPK atau Dit Tipikor Polri bisa segera memeriksa semua dokumen dan kondisi fisik bangunan di lapangan, serta lakukan audit foreksi semua alat digital yang dipakai oleh pejabat terkait di Kementerian PUPR, maka saya yakin akan ditemukan fakta yang sangat mengejutkan,” lanjut Yusri.
Menurut Yusri lagi, adanya dugaan kongkalikong proyek di Kementerian PUPR tersebut, tidak perlu adanya laporan ke penegak hukum. “Karena dugaan tindak pidana korupsi itu merupakan kewajiban penegak hukum menelisik adanya informasi yang berbasiskan investigasi lapangan langsung. Lagipula, Tipikor bukan delik aduan, jadi tak harus dilaporkan,” kata Yusri.
Sementara itu, pada anggaran negara tahun 2020 ini, ada 34 BP2JK di seluruh Indonesia yang mengelola dana infrastruktur tahun anggaran 2020 sekitar Rp 75,6 triliun.
(Sampai berita ini diturunkan ke redaksi. Menteri PUPR dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) kegiatan ini belum berhasil dimintai komentar dan keterangannya terkait temuan pihak CERI pada proyek di Kementerian PUPR ini).
(LNT-001/Red)
Discussion about this post