LasserNewsToday, Jakarta |
(Oleh : Dr. Chazali H. Situmorang, APT,M.Sc, Ketua Pusat Penelitian Pendampinan, Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat UNAS dan Dewan Pakar MN KAHMI)
Belakangan ini Bulog sebagai penyanggah dan stabilitas harga beras, dan menjamin ketersediaan beras dengan membeli beras dari petani sepertinya perannya semakin dipreteli terus. Gudang-gudang Bulog yang sudah tidak memenuhi standar tidak mendapatkan dana yang cukup dari pemerintah untuk perbaikan gudang Bulog.
Jangan heran jika beras yang disimpan di gudang Bulog yang secara teoritis dapat bertahan untuk waktu 1 tahun. Ternyata 6 bulan saja sudah rusak, berubah warna dan berulat.
Apakah dengan pengangkatan Komjen (Pur) Buwas yang mantan Komandan BNN, dapat meningkatkan kembali fungsi dan peran Bulog sebagai penyanggah dan stabilitas harga dan ketersediaan beras, melalui berbagai operasi pasar yang kontinyu.
Mudah-mudahan mafia beras dapat diberantas pak Buwas. Pengalaman memerangi mafia beras tidak sesulit mafia narkoba (barangkali). Termasuk memperbaiki gudang-gudang Bulog dengan sentuhan teknologi digital agar dapat terkontrol dari kebocoran-kebocoran beras di gudang Bulog.
Disamping adanya mafia beras, hal lain yang menjadi catatan, Jangan sampai sembako atau beras menjadi alat kepentingan politik di tahun politik ini. Caranya dengan mempermainkan kebutuhan rakyat miskin atas sembako dengan memberikan sembako secara cuma-cuma dibarengi penetrasi politik ataupun penetrasi kepentingan keagamaan. Allah akan melaknat manusia yang mempermainkan hak orang miskin diatas kesengsaraan dan ketidak berdayaannya.
*Tren Kebijakan*
Ada tren yang menjadi pola kebijakan yang dilakukan pemerintah dulu maupun sekarang sejak reformasi. Terutama sejak 2014. Program-program yang bersifat populis sering dilakukan 2 tahun menjelang berakhirnya kekuasaan.
Masa pak SBY sudah 2 kali diluncurkan BLT yang sangat masif dan cakupan sasaran 19 juta lebih keluarga miskin. Pada masa pak Jokowi tidak kalah besarnya. Kementerian Sosial diberikan alokasi APBN 2018 senilai Rp. 40 triliun, untuk program2 PKH, Bantuan Pangan Non Tunai, program UEP KUBE dan lainnya.
Pola kebijakan pemerintah pusat tersebut, tentu menjadi contoh dan diikuti oleh para Gubernur, Bupati dan Walikota dengan melakukan berbagai kegiatan populis, merakyat, dan memberikan bantuan sosial berupa sembako dan laiinnya. Akibatnya banyak juga Gubernur, Bupati dan Walikota yang masuk penjara karena berbagai bansos yang dilakukan secara melawan hukum.
Hal itu merupakan lingkaran setan, yang menghantui setiap proses pilkada maupun pilpres. Terkadang ada yang dilakukan para follower kandidat dengan dukungan para pengusaha yag berkepentingan atau bagi para incumbent ada yang berani meluncurkan dana APBD secara akrobatik. Ya ada yang ketangkap tapi banyak juga yang lolos.
Apa yang harus dilakukan untuk percepatan penanganan kemiskinan?
Pertanyaan tersebut sangat mendasar sekali. Karena sudah banyak yang dilakukan pemerintah. Apakah yang dilakukan itu sudah menjawab persoalan kemiskinan. Jawabannya belum.
Karena sangat sulitnya melepaskan mata rantai kemiskinan selama ini dan lingkaran setan yang melilit, walaupun dengan dana yang besar dan regulasi yang lengkap. Kenapa sulit ?. Karena boleh jadi intervensi yang dilakukan tidak atau kurang efektif mengatasi masalahnya. Atau intervensi tidak ditujukan pada inti masalah tetapi pada asesoris masalah atau masalah semu.
Untuk menjawab apa yang harus dilakukan, ada 3 hal penting yang mungkin perlu diperhatian pemerintah adalah ;
1. Melakukan pemberdayaan masyarakat miskin itu sendiri. Kata kunci pemberdayaan adalah partisipasi. Jika ingin memutuskan mata rantai kemiskinannya, tanyakanlah kepada orang miskin itu sendiri. Apa yang mereka butuhkan agar keluar dari kemiskinan. Bukan tiba-tiba beri sembako padahal yang mereka butuhkan adalah pelatihan ketrampilan atau modal usaha yang didapat tidak berbelit-belit. Walaupun sembako itu tidak mereka tolak, tetapi yang diberikan hanya bersifat menghilangkan rasa sakit saja, tetapi tidak mau tahu atau tidak mengerti apa penyebab penyakitnya.
Sering sekali menyelesaikan kemiskinan dari kaca mata kita “orang luar” bukan menggunakan kaca mata orang miskin itu sendiri. Sudah begini pendekatannya proyek dan target-target yang harus habis. Ukuran yang digunakan out put yaitu realisasi anggaran yang digunakan. Jarang sekali kementerian terkait melakukan evaluasi secara komprehensif, sungguh-sungguh, terukur dampaknya terhadap program-program kemiskinan yang sudah diluncurkan. Lebih banyak evaluasi bersifat seremonial, basa-basi, dan tidak akurat dalam menggunakan data.
2. Kepedulian pemerintah dan masyarakat non miskin. Kata kunci kepedulian adalah keberpihakan. Empati. Bisa merasakan bagaimana menderitanya menjadi orang miskin. Para birokrasi pemerintah bukan saja bekerja karena perintah dan penugasan, tetapi hati dan perasaan harus ikut bicara. sensitifitas perlu terus diasah. Sehingga muncul dorongan dari dalam untuk mengawal, mengimplementasikan berbagai program penanggulan kemiskinan sesuai dengan sasaran dan kebutuhan orang miskin itu sendiri. Kata kuncinya “for the people, by the people, and with the people”, sesuatu keniscayaan yang harus dilakukan oleh birokrasi pemerintahan. Bagi mereka yang kelompok mampu, pemerintah harus dapat membuat kebijakan yang jika perlu bersifat “memaksa” agar turut turun tangan, membuka akses dan mengajak dan mendorong orang miskin untuk terlepas dari mata rantai kemiskinan.
3. Dukungan lingkungan dan sumber daya alam. Lingkungan atau sumber daya alam yang dimiliki hakekatnyas harus bermanfaat bagi orang miskin dengan suatu sistem seimbang manusia dengan lingkungannya. Jangan orang miskin itu menjadi penonton atas kerusakan yang dilakukan mereka pemilik modal, dan kelaparan di lingkungan alam yang melimpah. Seperti misalnya nelayan yang mati di lumbung ikan. Petani mati di lumbung padi.
*Kesimpulan*
Kemiskinan dari masa ke masa, adalah masalah yang diwariskan pemerintah siapapun Presidennya. Kebijakan pembangunan yang dilakukan dan pertumbuhan ekonomi yang meningkat jika tidak disertai dengan penurunan jumlah orang miskin secara signikan, itu semua “pepesan kosong dan mencederai kedaulatan rakyat” dan amanat Konstitusi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Berbagai program-program penanganan kemiskinan perlu dikaji tingkat efektifitas dan effisiensinya. Fakta membuktikan sulitnya menurunkan angka kemiskinan walaupaun dengan biaya yang cukup besar. Tentunya ada sesuatu yang salah. Apakah pada tingkat perencanaannya, implementasinya maupun proses evaluasi yang dilakukan. Sesuatu yang salah harus terlihat dan diperlihatkan pada Presiden sebagai pembuatan kebijakan pemerintah tertinggi. Bukan menutup-nutupi. Jika itu bisa dilakukan, siapa pun Presidennya akan menyadari secara utuh persoalan kemiskinan. Dan akan membuat keputusan kebijakan yang akurat, efektif dan efisien. (LNT/Red)
Discussion about this post