LasserNewsToday, Jakarta |
Maraknya permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemegang Polis membuat Praktisi Hukum, Dicky Siahaan dari Jakarta pun angkat bicara. Saat diminta pendapatnya oleh redaksi, pimpinan Kantor Hukum Dicky Siahaan & Assosiates tersebut mengatakan bahwa Pengadilan Niaga Jakarta Pusat tidak perlu ragu untuk mengabulkan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dimohonkan oleh Pemilik Polis Asuransi Jiwasraya dan Asuransi Wahanaartha Life jika memang fakta-fakta hukumnya kuat, sebab sebelumnya Pengadilan Niaga Jakarta Pusat sudah mengabulkan permohonan PKPU atas Asuransi Jiwa Kresna/AJK yang dimohonkan oleh Pemilik Polisnya (Putusan Nomor 389/Pdt. Sus-PKPU/2020/PN Niaga Jkt. Pst tanggal 10 Desember 2020).
Dari Penelusuran Media yang dilansir dari CNBC (https://www.cnbcindonesia.com/market/20210121072523-17-217602/nasabah-kresna-life-depresi-minta-tolong-ojk-setop-pkpu/3) menyebutkan bahwa para nasabah menolak proposal yang diajukan AJK dalam PKPU yang menuliskan grace period untuk mulai bayar selama 12 bulan dari tanggal perjanjian perdamaian dan dalam table ditulis dimulai Juli 2022. Sedangkan dalam Skema Pembayaran tanggal 7 September 2020 yang diajukan AJK sebelum PKPU dan sudah disetujui oleh sebagian besar nasabah pemegang 8.054 polis, pembayaran dimulai sejak September 2020.
Dicky Siahaan mengatakan bahwa Putusan PKPU AJK tersebut membuktikan bahwa sebelum putusan PKPU juga AJK tidak siap dengan komitmennya untuk bayar Polis sehingga putusan PKPU AJK tersebut tidak sebatas dianggap benar lagi (res judicata pro veritate habetur) tapi sudah benar, tepat dan adil (equum et bonum est lex legum) serta dapat menjadi pegangan dan acuan bagi Pengadilan Niaga dalam memutus setiap permohonan PKPU yang diajukan oleh Pemilik Polis sekaligus menjadi obat bagi Pemilik Polis (lex semper dabit remedium).
Alasan lain Pengadilan Niaga harus mengabulkan permohonan PKPU oleh pemilik Polis menurut Pengacara yang menang melawan AJB Bumiputera 1912 dalam perkara wanpresrtasi ini adalah karena dalam Pasal 50 Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, OJK hanya diberikan kewenangan untuk mempailitkan perusahaan asuransi sedangkan pailit dan PKPU dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU memiliki pengertian, prosedur dan proses yang berbeda.
Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas, sedangkan PKPU adalah sebuah cara yang digunakan oleh Debitur maupun Kreditur dalam hal Debitur atau Kreditur menilai Debitur tidak dapat atau diperkirakan tidak akan dapat lagi melanjutkan pembayaran utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dengan maksud agar tercapai rencana perdamaian (meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditur) antara Debitur dan Kreditur agar Debitur tidak perlu dipailitkan.
Lebih lanjut, Dicky Siahaan mengatakan bahwa adanya perbedaan, prosedur dan proses pailit dengan PKPU tersebut pulalah yang menjadi dasar bagi pembuat undang-undang menamakan Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU. Jika teks atau redaksi undang-undang perasuransian telah terang-benderang dan jelas menyebutkan bahwa OJK hanya berwenang untuk mempailitkan dan bukan untuk memohonkan PKPU dan krenanya tidak seorangpun diperkenankan untuk menafsirkan bahwa permohonan PKPU juga adalah kewenangan OJK, karena penafsiran terhadap kata-kata yang jelas adalah penghancuran (interpretatio cessat in claris), dan apa yang telah jelas dinyatakan dalam undang-undang maka itulah hukumnya (la bouche de droit/spreekhuis van de wet).
(LNT/ed. MN-Red)
Discussion about this post