LasserNewsToday, Jakarta |
Para pemimpin negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) mengatakan bahwa mereka telah menyetujui rencana dengan kepala junta Myanmar, Sabtu (22/04/2021), untuk mengakhiri krisis di negara yang dilanda kekerasan itu, tetapi kepala junta Myanmar itu tidak merinci secara eksplisit sebagai menanggapi tuntutan untuk menghentikan pembunuhan pengunjuk rasa sipil yang terjadi selama ini.
“Ini di luar dugaan kami.” Kata Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin kepada wartawan usai pertemuan para pemimpin negara-negara ASEAN yang juga dihadiri oleh Jenderal Senior Myanmar, Min Aung Hlaing.
“Kami berusaha untuk tidak terlalu menuduh pihaknya karena kami tidak peduli siapa yang menyebabkannya.” Tambah Muhyiddin. “Kami baru saja menekankan bahwa kekerasan harus dihentikan. Baginya, pihak lain yang menyebabkan masalah. Tapi dia setuju bahwa kekerasan harus dihentikan.”
Para pemimpin negara-negara ASEAN menginginkan komitmen dari Min Aung Hlaing untuk menahan pasukan keamanannya, yang menurut kelompok pemantau aktivis telah membunuh 745 orang sejak gerakan pembangkangan sipil massal meletus untuk menantang kudeta 1 Februari 2021. Mereka juga menginginkan pembebasan tahanan politik.
“Dia tidak menolak apa yang saya dan rekan-rekan kemukakan.” Kata Muhyiddin menambahkan.
Menurut pernyataan ketua kelompok Brunei, sebuah konsensus telah dicapai dengan lima poin, yaitu: mengakhiri kekerasan, dialog konstruktif di antara semua pihak, utusan khusus ASEAN memfasilitasi dialog, penerimaan bantuan, dan knjungan utusan ke Myanmar. Tidak disebutkan terkait pembebasan tahanan politik dalam pernyataan itu.
Menurut televisi Channel NewsAsia, Perdana Menteri Singapura, Lee Hsien Loong, mengatakan, “Dia (Min Aung Hlaing) mengatakan bahwa dia mendengar kami. Dia akan menerima poin-poin yang dianggap membantu. Dia tidak menentang peran konstruktif ASEAN, atau kunjungan delegasi ASEAN, atau bantuan kemanusiaan.”
Namun Lee menambahkan bahwa prosesnya masih panjang, “Karena ada satu hal yang harus dikatakan bahwa Anda akan menghentikan kekerasan dan membebaskan tahanan politik; ini adalah hal lain untuk menyelesaikannya.”
Sampai sejauh ini belum ada komentar langsung dari Min Aung Hlaing.
Sementara itu, Charles Santiago, Ketua Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) Parlemen ASEAN mengatakan, “Pembebasan tahanan politik merupakan syarat penting untuk menghentikan kekerasan. ASEAN sekarang harus bertindak cepat dan menetapkan garis waktu yang jelas bagi Min Aung Hlaing untuk menghakhiri kekerasan, atau siap untuk meminta pertanggungjawabannya.”
Kembalikan Demokrasi
Pertemuan para pemimpin negara-negara ASEAN adalah upaya internasional pertama yang terkoordinasi untuk meredakan krisis di Myanmar, negara miskin yang bertetangga dengan China, India, dan Thailand sejak kudeta yang menggulingkan pemerintah terpilih, Aung San Suu Kyi. Myanmar merupakan merupakan bagian dari 10 negara ASEAN, yang memiliki kebijakan pengambilan keputusan secara konsensus dan tidak mencampuri urusan para anggotanya.
Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) paralel Myanmar, yang terdiri dari tokoh-tokoh pro-demokrasi, sisa-sisa Pemerintahan Suu Kyi yang digulingkan dan perwakilan kelompok etnis bersenjata, mengatakan bahwa pihaknya menyambut baik konsensus yang dicapai tetapi junta harus berpegang pada janjinya.
“Kami menantikan tindakan tegas oleh ASEAN untuk menindaklanjuti keputusannya dan memulihkan demokrasi kami.” Kata Dr. Sasa, juru bicara NUG.
Tidak lazim bagi pemimpin pemerintahan militer di Myanmar untuk menghadiri KTT ASEAN – biasanya negara tersebut diwakili oleh perwira berpangkat lebih rendah atau warga sipil.
Para pemimpin negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Vietnam, Singapura, Malaysia, Kamboja, dan Brunei hadir dalam pertemuan tersebut, bersama dengan para Menteri Luar Negeri Laos, Thailand, dan Filipina.
Sementara kebijakan non-campur tangan ASEAN mempersulit penanganan masalah yang diperdebatkan, badan tersebut dipandang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), China, dan Amerika Serikat (AS) sebagai tempat terbaik untuk menangani junta secara langsung.
Duta Besar AS untuk PBB, Linda Thomas Greenfield, menulis dalam Twitternya, “Kami [@UN] Dewan Keamanan sangat menantikan hasil dari pertemuan @ASEAN di Burma, yang membutuhkan perhatian serius dan segera.”
Namun beberapa analis memperingatkan akan bahaya memberikan legitimasi kepada junta dengan mengundang pemimpinnya ke puncak.
Huong Le Thu, dan Australian Strategic Policy Initiative, dalam sebuah analisis pertemuan ASEAN, ia menulis, “Representasi formal dari Tatmadaw (militer Myanmar) di KTT ASEAN, tanpa memberikan konsesi apapun sebagai imbalan, termasuk komitmen pertama dan terutama untuk menghentikan pertumpahan darah, tidaklah konstruktif.”
[Sumber: Reuters; Tom Allard, Fanny Potkin, Nilufar Rizki, Stanley Widianto; Alih bahasa: Marolop Nainggolan-LNT]
(MN-Lnsr/ed. MN)
Discussion about this post