(Oleh: Yusri Usman, Direktur Eksekutiv CERI)
LasserNewsToday, Jakarta |
Pertanyaan sebagian anggota DPR RI Komisi VII yang ditujukan pada Menteri ESDM Arifin Tasrif pada acara dengar pendapat di gedung DPR hari Senin (23/11/2020), dinilai aneh dan konyol alias Amnesia. Mempertanyakan keputusan yang telah dibuatnya sendiri, yakni mengangkat soal royati nol persen untuk hilirisasi ditengah UU Cipta Kerja yang telah ditetapkan, itu ibarat menelan ludah sendiri.
Informasinya, selama rapat itu ada anggota DPR menyatakan dengan sikap kerasnya, bahwa kebijakan royalti nol persen bertentangan dengan konstitusi.
Yang menjadi persoalan dan pertanyaan adalah, mengapa teriakan-teriakan itu baru muncul setelah UU Cipta Kerja telah diundangkan.
Bahkan, di saat royalti nol persen menjadi perdebatan publik, hanya menyisakan kenangan atas sikap diamnya DPR dan Menteri ESDM. Bisa jadi nol persen memang menjadi usulan Menko atau “Oligarki” yang membuat semua pihak diam tak bergerak.
Asal tau saja, aturan royalti nol persen sudah tertera didalam pasal 39 pada UU Omnibus Law nomor 11 tahun 2020 kluster Minerba, adapun pasal baru itu telah disisipkan diantara Pasal 128 dan 129 dari UU nomor 4 tahun 2009. Semua itu merupakan produk UU dari usulan pemerintah pada 12 Febuari 2020, yang telah dibahas bersama panja DPR Komisi VII dan sudah disahkan oleh Paripurna DPR.
Adapun pasal baru itu, yakni Pasal 128 A, yang pada Ayat 2 disebutkan ‘pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambah batubara dapat pengenaan royalti nol persen’. Yang lebih mengkuatirkan lagi, Pasal tersebut infonya akan digunakan juga pada skema PLTU dimulut tambang.
Sehingga pelanggaran terhadap konstitusi itu adalah merupakan tanggung jawab melekat bagi semua anggota DPR dengan Pemerintah, karena sejak awal ikut mengusulkan, membahas dan telah menyetujuinya menjadi UU. Aneh dan lucunya mengapa baru sekarang menyatakan keberatan dan mempertanyakannya. Apakah semua oknum DPR RI Komisi VII mengidap penyakit ‘Amnesia’?
Kepentingan apa dan kemana arahnya, itu yang justru menjadi pertanyaan baru bagi publik. Lucu dan konyol nya lagi, Menteri ESDM dalam menjawab pertanyaan anggota komisi VII tersebut juga menunjukkan ketidak mengertiannya apa makna, arti dan filosofi royalti, yang mengatakan bahwa royalti nol persen itu hanya sebatas untuk jumlah batubara yang dihilirisasikan.
Padahal secara filosofi, pengenaan royalti itu adalah sebuah bentuk sahnya peralihan kepemilikan rakyat Indonesia dalam penguasaan sumber daya alam yang di representasikan oleh negara, jadi pembayaran royalti itu merupakan ijab kabul dari negara kepada penambang.
Tidak hanya itu, kami juga mencermati didalam ketentuan bahwa UU Minerba dan UU Omnibus Kluster Minerba soal hilangnya batasan luasan tambang, selain itu ternyata UU itu telah mengesampingkan hak prioritas BUMN untuk memperoleh lahan tambang batubara milik PKP2B generasi satu, yang asal usulnya juga semua lahan itu awalnya milik PN Batubara, ironislah.
Berdasarkan hal-hal itulah, kami bersama koalisi masyarakat sipil peduli pengelolaan sumber daya alam yang konstitusional telah melihat dan menyimpulkan, bahwa telah terjadi pelanggaran yang nyata terhadap konstitusi dari produk UU Minerba nomor 3 tahun 2020 dan UU Omnibus Law nomor 11 tahun 2020 kluster Minerba.
Oleh sebab itu, kami telah memberikan kuasa penuh kepada rekan-rekan kami di koalisi masyarakat sipil untuk melakukan judicial review terhadap UU tersebut di Makamah Konstitusi.
Semoga Majelis Hakim Makamah Konstitusi mengabulkan seluruh gugatan itu, karena produk UU tersebut sangat merugikan kepentingan nasional jangka panjang.
(LNT/Red)
Discussion about this post