LasserNewsToday
Sabtu, Januari 23, 2021
  • HOME
  • BERITA
    • Artikel
    • Opini
    • Nasional
    • Jabodetabek
    • Lingga
    • Sumut
    • Seputar Kota
    • Medan
    • Siantar
    • Simalungun
    • TNI-Polri
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
    • Entertainment
    • Inspirasi
    • Kisah
    • Wisata
    • Kuliner
  • OLAHRAGA
  • TEKNOLOGI
    • Gadget
    • Internet
    • Aplikasi
  • TIPS
    • Tips Sehat
    • Manfaat
  • IKLAN
No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
    • Artikel
    • Opini
    • Nasional
    • Jabodetabek
    • Lingga
    • Sumut
    • Seputar Kota
    • Medan
    • Siantar
    • Simalungun
    • TNI-Polri
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
    • Entertainment
    • Inspirasi
    • Kisah
    • Wisata
    • Kuliner
  • OLAHRAGA
  • TEKNOLOGI
    • Gadget
    • Internet
    • Aplikasi
  • TIPS
    • Tips Sehat
    • Manfaat
  • IKLAN
No Result
View All Result
LasserNewsToday
No Result
View All Result

Program Biodiesel Pemerintahan Jokowi Tidak Memiliki Roadmap, Menteri ESDM Sebaiknya Belajar Filosofi Rumah Pegadaian

by REDAKSI
24 November 2020
Presiden Jokowi ketika mengunjungi SPBU Biodiesel

Presiden Jokowi ketika mengunjungi SPBU Biodiesel

768
SHARES
5.1k
VIEWS
Share on WhatsAppShare on FacebookShare on TwitterShare to mail

LasserNewsToday, Jakarta |

Terkait program Bio Solar B30 yang dinilai tidak ekonomis dan banyak menelan subsidi anggaran APBN yang ditangani oleh Kementerian ESDM mengundang tanggapan miring dari berbagai kalangan pemerhati dan LSM diberbagai penjuru tanah air.

Seperti dikatakan Ram Saragih, Juru Bicara DPP LSM PMP3N (Pemuda dan Mahasiswa Peduli Perkebunan dan Perusahaan Negara) RI ini turut berkomentar terkait bungkamnya pejabat KESDM terhadap program Biosolar B30 yang dikemukan oleh ekonom Faisal Basri dan Yusri Usman dari CERI.

Wajar saja kalau semua pejabat Kementerian ESDM bungkam melihat realitas bahwa program biosolar B30 yang berbasis FAME 30% telah memakan banyak dana pungut sawit dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit selama lima tahun sudah diatas Rp 60 Triliun lebih, belum lagi puluhan Triliun uang dari APBN setiap tahun harus mensubsidi solar murni Pertamina, cilakanya lagi akibat B30 ini Pertamina mengalami kerugian besar dari jual rugi kelebihan solar dari kilang, jika ditotal subsidi ditambah kerugian Pertamina bisa diatas Rp 100 Triliun lebih, kan tak masuk akal sehat program ini. Ungkap Saragih.

Saragih menambahkan. “Harusnya Menteri ESDM Arifin Tasrif harus belajar pada moto rumah Pegadaian, yakni mengatasi masalah tanpa masalah, namun anehnya kebijakan Menteri ESDM kok malah mengatasi masalah dengan masalah, kan jadi hancur leburlah, apalagi kalau dipaksakan program dari B30 ke B40 ditahun 2021.

Anehnya lagi, Menteri ESDM didepan DPR Komisi VII pada 23 November 2020 malah masih bicara perlu lahan 15 juta hektar kalau mau produksi B100 sebanyak 1 juta barel perhari, harusnya dia bicara tehnologi apa yang bisa menghasilkan Green diesel dan Green gasoline tanpa menggunakan bahan baku FAME dan RBDPO, karena terbukti tak ekonomis. “Harusnya dia menyimak apa yang dikatakan oleh Menko Perekonomian Ir Airlangga Hartarto bahwa kita harus mencari tehnologi baru, itu yang benar, ” kata Ram Saragih kepada reporter media ini. Selasa (24/11/2020).

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Ego Syahrial tidak memberikan tanggapan atas pernyataan Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman mengenai program biosolar yang tidak ekonomis.

Sementara itu ditempat terpisah, Direktur Eksekutif CERI, Yusri Usman, membeberkan bahwa program biodiesel dari produk FAME telah salah jalan. Ia menegaskan, program tersebut tidak ekonomis.

“Kami sejak lama sudah menyatakan bahwa program B20 berbahan baku FAME (Fatic Acid Methyl Ester) adalah proyek yang tidak ekonomis. Selain itu akibat adanya kandungan oksigen dalam FAME, telah mengakibatkan konsumen harus agak boros membersihkan dan lebih cepat mengganti filternya dari yang lazim, bahkan untuk kendaraan berat banyak ditemukan masalah, termasuk kenderaan saya sendiri sempat bermasalah, ungkap Yusri kepada reporter. Selasa (24/11/2020).

Sebab, kata Yusri, tak ada satu pun negara di dunia ini yang melaksanakan program biodiesel berbahan baku FAME melebih 10%, Malaysia saja hanya mencapai B10 paling mentok.

“Sehingga kalau kebijakan pemerintah mengharuskan peningkatan program dari B20 menjadi B30 dan seterusnya menjadi B50 sampai B100 dengan mengharuskan berbahan baku FAME, itu terkesan kental pemerintah hanya ingin menyelamatkan konglomerat sawit yang produk CPO-nya sedang di boikot Eropa, daripada program itu untuk menyelamatkan defisit transaksi berjalan dan menolong petani sawit serta Pertamina,” kata Yusri.

Yusri mengatakan, pihaknya menduga, ada pembisik yang telah menjerumuskan Presiden Jokowi telah salah menerapkan program biodisel ini. “Karena, naiknya kadar minyak nabati dalam program B30, otomatis akan menaikan pasokan atau kebutuhan FAME dari 6,6 juta kiloliter menjadi 9,5 juta kiloliter,” beber Yusri.

Jika melihat program B30 dijalankan berdasarkan Keputusan Menteri ESDM nomor 227 K/10/MEN/2019 tentang Pelaksanaan Uji Coba Percampuran Bahan Bakar Nabati Jenis B30 kedalam Bahan Bakar Minyak Jenis Solar yang ditandai tangani oleh Menteri ESDM Arifin Tasrif pada 15 November 2019, maka Menteri ESDM yang harus bertanggung jawab terhadap kebijakan salah jalan ini, kata Yusri.

Setiap tahun, kata Yusri, produsen FAME yang tergabung dalam Aprobi (Asosisasi Produsen Biofeul Indonesia), akan memperoleh subsidi dari dana sawit sekitar diatas Rp 10 Triliun per tahun, apabila program B30 berjalan.

“Di sisi yang lain, akibat peningkatan program B30, ekses solar dari kilang Pertamina semakin meningkat tinggi, karena kualitas solarnya dibawah standard, sejak program B20 dijalankan, Pertamina sudah sejak tahun 2017 telah mengekspor solar dengan harga merugi terus sampai saat ini,” ulas Yusri.

Menurut Yusri, dana yang dipungut oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) setiap tahunnya dari PPN Tandan Buah Segar dan bea keluar dan CPO dan Produk turunannnya mencapai sekitar Rp 12 triliun hingga Rp 15 Triliun.

“Padahal, menurut Darmin Nasution ketika masih sebagai Menteri Kordinator Perekonomian pada September 2019, penggunaan dana pungut sawit itu diprioritaskan untuk peremajaan tanaman sawit, bukan untuk mensubsidi FAME,” ungkap Yusri.

“Karena solar murni Pertamina itu sudah mendapat subsidi Rp 2.000 perliter dari APBN. Adapun penggunaan dana sawit itu untuk kebutuhan peremajaan sawit dan setiap petani plasma mendapat bantuan sebesar Rp 100 juta,” lanjut Yusri.

Menurut Yusri, Darmin pernah mengatakan pada akhir tahun 2019, target pemerintah untuk meremajakan tananam sawit petani plasma seluas 180.000 hektar. “Untuk memverifikasi apakah targetnya tercapai dan sudah tepat sasaran petani yang menerimanya, kami tidak paham apakah ini masuk ranah BPK atau BPKP yang mengauditnya?,” sambung Yusri.

Yusri mengatakan, infonya program peremajaan tanaman sawit rakyat banyak tertunda, karena dana pungut sawit itu telah digunakan untuk subsidi FAME, tetapi karena dana pungut sawit itu pun tak cukup untuk mensubsidi FAME. Ironisnya pemerintah terpaksa merogoh koceknya sebesar Rp 2,78 Trliun pada tahun ini dari APBN.

“Cilakanya lagi, entah ide dari mana datangnya, Pertamina selama ini sedang sibuk menjalankan program D100 Green Diesel berbahan baku RBDPO (Refined, Bleached and Deodorized Palm Oil) yang harganya per kilogram Rp 12.500 atau setara 3 liter minyak mentah berdasarkan rilis Kementerian ESDM pada bulan November 2020 angka ICP USD 38,07 per barel,” ulas Yusri.

Pertamina dengan konyolnya lagi, kata Yusri, mengatakan bahwa program D100 Green Diesel yang diuji coba disaksikan Menteri Perindustiran Agus Gumawang Kartasasmita dan Dirut Pertamina Nicke Widyawati, pada 22 Juli 2020 di kilang Plaju Palembang cukup berhasil, itu pun diframing sebagai kado HUT Kemerdekaan RI dari Pertamina dengan bangganya.

“Ternyata saat itu yang diuji coba penggunaan kendaraan itu adalah B50, yang merupakan percampuran Dexlite (50%), FAME (30%) dan D100 (20%). Sejak itu, kami melalui media dan Corsec Pertamina telah berulang kali mempertanyakan berapa harga keekonomian perliter produk D100 berbahan baku RBDPO dengan katalis merah putih ditambah biaya procesing kilang dan transportasi ke SPBU, bahkan sudah lima bulan lebih pihak Pertamina bungkam,” ungkap Yusri.

Terakhir, kata Yusri, pada 5 September 2020, Pertamina melalui VP Corcom Fajriyah Usman telah megeluarkan rilis seolah-olah berhasil mengeskpor diesel kualitas Euro 4 ke Malaysia setiap bulan sebanyak 200.000 barel, dengan nilai USD 9,5 juta dari kilang Balipapan.

“Setelah kami kejar konfirmasi ke Corcom Pertamina pusat dan Pertamina Balikpapan, terakhir terungkap dari keterangan Dirut PT Kilang Pertamina International Iganatius Telulembang di depan Rapat Komisi VI DPR RI pada (5/10/2020), yang mengaku bahwa solar itu dijual rugi, itu pun karena bingung storage sudah penuh,” ulas Yusri.

“Harusnya Pertamina dan Pemerintah lebih cerdas, menggunakan BPPT untuk mencari teknologi biodisel yang harga produknya jauh lebih murah dan produknya berkualitas, tetapi bahan bakunya bukan berasal bahan bakunya FAME, apalagi RBDPO,” ungkap Yusri lagi.

Ternyata, kata Yusri, sekarang sudah ada tehnologi dari Eropa yang bisa mengahasilkan biodiesel lebih efisien dan produknya berstandar BBM Euro 5, yaitu tehnologi HVO (Hydrotrated Vegetable Oil) dan Syntetic diesel Oil Euro 5, dan BPPT telah mengkajinya. “Pertanyaannya, mengapa Pertamina tidak berkordinasi dengan BPPT soal program Biodiesel ini?,” ungkap Yusri.

Lebih lanjut Yusri membeberkan, teknologi yang tepat yang dipilih bisa mengolah langsung TBS, CPO, minyak goreng bekas, janjang sawit, batang sawit, low rank coal dan lemak binatang adalah pilihan tepat untuk menghindari kelebihan suplai CPO yang dapat diserap kebutuhan dalam negeri, dan itu bisa menjaga harga CPO bisa relatif stabil di pasaran internasional, akibat sekarang lagi diboikot masyarakat Eropa.

“Pertanyaannya kritisnya sekarang adalah, apakah Kementerian ESDM dan BUMN dengan Dewan Direksi dan Dewan Komisaris Pertamina ikut terpapar kartel sawit juga kah?,” tutup Yusri.

Tanpa peta jalan

Sementara itu, dilansir cnnindonesia.com, Rabu (18/11/2020), Ekonom Senior Faisal Basri menilai program biodiesel Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tidak memiliki roadmap (peta jalan) yang jelas. Menurut dia, program itu memiliki lebih banyak mudarat daripada maslahat.

Disebut tidak jelas karena pemerintah mengabaikan tren konsumsi minyak nabati untuk biofuel yang menurun secara global. Jika konsumsi global turun, maka mau tidak mau pasar dalam negeri lah yang harus menyerap produksi biodiesel.

Sebagai salah satu negara yang memasok biodiesel terbesar, Faisal memprediksi akan banyak pabrik biodiesel yang menganggur di masa depan. Jika ingin meneruskan subsidi biodiesel, pemerintah juga harus menyiapkan dana bailout (talangan) agar produsen biodiesel dalam negeri dapat bertahan di masa depan.

“Saya katakan kalau tidak ada roadmap, porsi dari sawit yang harus dipasarkan di dalam negeri makin besar dan oleh karena itu subsidi makin besar,” katanya dalam diskusi daring Greenpeace bertajuk ‘Kebijakan Biodiesel Untuk Siapa?’ Kemarin. Rabu (18/11/2020).

Lalu, pengembangan biodiesel juga disebut Faisal menekan defisit transaksi berjalan (CAD). Berdasarkan perhitungan opportunity cost, ia bilang telah terjadi defisit perdagangan yang kian melebar setiap tahunnya. Menurut dia, defisit untuk 2019 sebesar Rp 85,2 triliun atau sekitar US$6,1 miliar, lebih besar dari 2018, yakni Rp 72,1 triliun atawa US$5 miliar.

Opportunity cost yang dimaksudnya adalah pendapatan ekspor yang dikorbankan pemerintah dari konsumsi biofuel dan pemakaian biodiesel untuk kebutuhan domestik. “Tidak ada yang namanya penghematan devisa di sana, justru penggerogotan devisa karena penghematan yang kita dapatkan dari tidak mengimpor solar jauh lebih kecil, karena tidak mengimpor solar kan hanya 30 persen kalau B30. Lalu, kehilangan kesempatan ekspor CPO,” jelasnya.

Belum lagi, soal efektivitas kebijakan biodiesel yang sepenuhnya dipengaruhi oleh harga CPO dan minyak mentah dunia yang di luar kendali pemerintah.

Karena itu, Faisal mengaku heran pemerintah ngotot mendorong program B30 yang dia nilai tak menguntungkan pemerintah ataupun petani CPO.

Dia curiga kebijakan dibuat untuk memastikan keberlangsungan industri terkait yang pemainnya terbatas. “Kebijakan ini jauh api dan panggang, bahkan semakin membuat perekonomian Indonesia dirugikan besar, yang diuntungkan hanya segelintir orang pemilik pabrik biodiesel,” tutupnya.

Pada sidang tahunan MPR, Agustus lalu, Jokowi menyebut program biodiesel membuat pemerintah mampu menekan nilai impor minyak pada 2019 lalu.

PT. Pertamina (Persero) pun membenarkan bahwa implementasi B20 dan B30 telah menghemat devisa negara sebesar Rp 43,8 triliun pada 2019. Tahun ini, ditargetkan menghemat devisa hingga Rp 63,4 triliun dari program B30.

Kondisi itu terkonfirmasi oleh data impor hasil minyak Badan Pusat Statistik (BPS). Tercatat, impor hasil minyak secara tahunan turun 11,73 persen menjadi 10,33 juta ton. Adapun nilai impor hasil minyak sepanjang semester I 2020 merosot 39,3 persen menjadi US$1,98 miliar.

(Sampai berita ini diturunkan ke redaksi, pihak Kementerian ESDM belum berhasil dikonfirmasi reporter terkait program Biodiesel yang dinilai tidak ekonomis dan ramah lingkungan ini dan banyak menelan subsidi dari APBN).

(LNT/Cnn/Red)

SendShare307Tweet192Send

Artikel Terkait

Pemblokiran Rekening Tanpa Proses Hukum, PPATK akan Dilawan Publik dengan Rush Money

by REDAKSI
13 Januari 2021
0

(Oleh : Ahmad Khozinudin - Sastrawan Politik)  LasserNewsToday, Jakarta | Aksi gagah-gagahan PPATK yang memblokir 79 rekening bank terkait FPI...

Rekomendasi Komnas HAM Anti Klimaks, Banci, Tidak Bisa Menyeret Pelaku ke Meja Pengadilan HAM dan Dituntut Dengan Pidana Mati

by REDAKSI
20 Januari 2021
0

(Oleh : Ahmad Khozinudin, S.H, Advokat dan Aktivis) LasserNewsToday, Jakarta | Sejak awal, saya tak terlalu berharap pada Komnas HAM....

Discussion about this post

TRENDING

  • Beberapa Pengendara Sepeda Motor Yang Terjatuh Saat Melintasi Rel KA di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Asuhan, Kecamatan Siantar Timur, Kota Pematangsiantar. Selasa (18/01/2020)

    Perlintasan Rel Kereta Api di Jalan Protokol Kota Pematangsiantar Mengancam Keselamatan Pengguna Jalan

    808 shares
    Share 323 Tweet 202
  • Info Buat Kapolresta Siantar.! Bandar Sabu Kampung Banjar ‘Riki Kusta dan Bedol’ Bebas Jual Sabu, Diduga Dibekingi Oknum Satnarkoba

    756 shares
    Share 302 Tweet 189
  • Terkait Penangkapan 2 Orang Pengedar Ekstasi Di Studio 21 Milles, Ketua JPKP: Desak Kapolresta Siantar Usut Tuntas Sampai Ke Bandar Besarnya

    634 shares
    Share 254 Tweet 159
  • Diduga Bawa Pil Ekstasi.! 2 Orang Pasutri Warga Pematangsiantar ‘Ditangkap’ Satnarkoba Poltabes Medan Sepulang Dugem, Diduga Informasinya Sudah Dilepas

    631 shares
    Share 252 Tweet 158
  • Diduga Kapolresta Siantar dan Pengusaha Studio 21 Milles Sudah Akur, Kasus Pil Ekstasi Diduga Tidak Dilakukan Pengembangan Ke Bandar Besar

    653 shares
    Share 261 Tweet 163
  • Diduga ‘Diberi Izin’ Kasat Reskrim, 2 Bandar Judi ‘Berstatus DPO’ Sahat Nainggolan dan Ramses Simanjuntak Join Buka Judi Togel Di Wilkum Polres Simalungun

    601 shares
    Share 240 Tweet 150
  • Redaksi
  • Contact
  • Terms
  • Disclaimer
  • Kode Etik
  • Pedoman
  • Policy

© 2020

No Result
View All Result
  • HOME
  • BERITA
    • Artikel
    • Opini
    • Nasional
    • Jabodetabek
    • Lingga
    • Sumut
    • Seputar Kota
    • Medan
    • Siantar
    • Simalungun
    • TNI-Polri
  • INTERNASIONAL
  • HIBURAN
    • Entertainment
    • Inspirasi
    • Kisah
    • Wisata
    • Kuliner
  • OLAHRAGA
  • TEKNOLOGI
    • Gadget
    • Internet
    • Aplikasi
  • TIPS
    • Tips Sehat
    • Manfaat
  • IKLAN

© 2020