(Catatan: Marolop Nainggolan-Red)
LasserNewsToday, Pematangsiantar (Sumut) |
Raden Adjeng (R.A) Kartini, lahir di Jepara, 21 April 1879, dan meninggal di Rembang, 17 September 1904 dalam usia 25 tahun. Kartini, yang lebih tepat dikenal dengan sebutan Raden Ayu (R.A) Kartini, adalah seorang tokoh Jawa dan Pahlawan Nasional Indonesia, dan dikenal sebagai pelopor “Kebangkitan Perempuan Pribumi Nusantara”.
Meski tidak sempat berbuat banyak untuk kemajuan bangsa dan tanah air, Kartini banyak mengemukakan ide-ide pembaruan masyarakat yang melampaui zamannya melalui surat-suratnya yang bersejarah. Dilansir dari id.wikipedia.org, bahwa cita-citanya yang tinggi dituangkan dalam surat-suratnya kepada kenalan dan sahabatnya orang Belanda di luar negeri, seperti: Tuan E.C. Abendanon, Ny. M.C.E. Ovink-Soer, Zeehandelaar, Prof. Dr. G.K. Anton, dan Ny. Tuah H.H. von Kol, dan Ny. H.G. de Booij-Boissevain. Kemudian Surat-surat Kartini itu diterjemahkan oleh Sastrawan Pujangga Baru, Armjn Pane, pada 1922 dengan judul: “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Selain itu, setelah Kartini wafat, Jacques Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirim R.A. Kartini kepada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Balanda. Buku itu diberi judul: Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya: “Dari Kegelapan Menuju Cahaya”. Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911, dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Lalu, pada 1922, Balai Pustaka menerbitkan dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi “Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran”, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, terbitlah buku Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armjin Pane, sastrawan Pujangga Baru tersebut. Armjin membagi buku tersebut menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes. L. Symmers. Selaint itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini (seorang perempuan pribumi), sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh Kebangkitan Nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang kemudian mencipta lagu yang berjudul: “Ibu Kita Kartini” yang menggambarkan inti perjuangan wanita untuk merdeka.
Pemikiran Kartini
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht, Zelf-vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu: ketuhanan, kebijaksanaan, dan keindahan) ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada perkenalan dengan Estelle “Stella” Zeehandelaar, Kartini mengungkapkan keinginan untuk menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah yang tergolong maju karena menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah Kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dalam upaya mewujudkan keinginan Kartini tesebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tesebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi menjadi gurudi Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. “…. Singkat dan pendek saja, bahwa sya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan kawin….”. Padahal saat itu pihak Departemen Pengajaran Belanda sudah membuka pintu kesempatan bagi Kartini dan Raukmini (adiknya) untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu. Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati Rembang.
Kepribadian Kartini
Dirangkum dari seluruh isi surat-surat Kartini – akan terlalu panjang bila semua diuraikan dalam tulisan ini – sesungguhnya dapat diintisarikan bagaimana sebenarnya kepribadian Kartini dalam karakter, yang sebenarnya kepribadian tersebut memiliki banyak kelebihan tertentu yang patut ditiru dan diteladani. Dilansir dari melaniajakarta.or.id, adapun kepribadian tersebut, antara lain: berjiwa sosial dan penuh kasih sayang, ramah, supel dan punya rasa kesonapan, patuh dan menghormati orang tua, setia, sabar, rajin, rendah hati, optimis, ambisius, ulet dan pantang menyerah, gigih dan berani, cerdas dan pintar, cinta bangsa dan tanah air.
Selain itu, Niko Ramadhani dalam “Lima Kepribadian R.A. Kartini yang Bisa Kamu Teladani di Era Sekarang”, artikel dalam akseleran.co.id, mengungkapkan, ada lima kepribadian Kartini yang patut diikuti (diteladani), yaitu: berani, optimis, sederhana, perhatian, dan cerdas.
Sebenarnya masih ada lagi beberapa kepribadian Kartini yang belum dapat dipaparkan dalam tulisan ini, namun apa yang dipaparkan di sini saat ini, kiranya dapat ditiru dan diteladani, khususnya bagi para kaum perempuan Indonesia yang kiranya dapat membentuk diri menjadi ‘Kartini-kartini’ di zaman sekarang yang sarat dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semoga. (*)
[Catatan: Sumber referensi terlampir pada redaksi media ini].
(LNT-MN/ed. MN-Red)
Discussion about this post