LasserNewsToday, Paluta (Sumut) |
Kasus dugaan pencabulan sudah 12 bulan berlalu dengan terduga pelaku MG (50), pensiunan satuan teritorial, berdomisili di Desa Aek Jakkang, Kecamatan Padang Bolak, dan terduga pelaku JH (40), berdomisili di Desa Gunung Tua Jae, Kecamatan Padangbolak, Kabupaen Padang Lawas Utara (Paluta), Provinsi Sumatera Utara (Sumut), kabarnya para terduga pelaku tesebut masih bebas berkeliaran, sepertinya tidak tersentuh hukum. Untuk diketahui bahwa kasus dugaan cabul dengan terduga pelaku JH, dan MG ini kerap kali diberitakan di media online, salah satunya dapat dibaca di Diduga Pelaku Cabul Masih Bebas Berkeliaran, Polres Tapsel Diminta Segera Menangkapnya
Atas pemberitaan tersebut Ketua Umum (Ketum) Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Nasional pun angkat bicara menyoroti kasus tersebut.
Dalam tanggapannya sebagai merespon kasus tersebut, Arist Merdeka Sirait, Ketum Komnas PA Nasional, mengatakan, “Anak merupakan aset negara, sebagai generasi penerus bangsa. Setiap anak memiliki empat hak dasar yang harus dipenuhi, antara lain: (1) hak untuk hidup; (2) hak untuk berkembang; (3) hak untuk mendapatkan perlindungan; dan (4) hak untuk berpartisipasi. Untuk itu orang dewasa wajib menghormati anak-anak di Indonesia.” Jelasnya.
Untuk diketahui bahwa pencabulan terhadap anak, diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang telah diubah menjadi UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan diubah untuk kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah (PP) Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan Anak, dan sebagaimana telah ditetapkan sebagai UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan PP Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjadi UU.
Sebelumnya perlu dilihat terelebih dahulu ketentuan mengenai pencabulan dalam UU No. 35 Tahun 2014 dan Perpu No. 1 Tahun 2016. Dari rumusan Pasal 82 Perpu No. 1 Tahun 2016 Jo. Pasal 76-E UU Nomor 35 Tahun 2014, terlihat bahwa tidak ada keharusan bagi delik ini untuk dilaporkan oleh korbannya. Dengan demikian, delik pencabulan terhadap anak merupakan delik biasa, bukan delik aduan.
Jadi, dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa pencabulan merupakan delik biasa, maka proses hukum terhadap tersangka akan tetap berjalan walaupun seandainya pihak keluarga korban sudah memaafkan tersangka (misalnya: sudah berdamai dan laporan dicabut). Namun apabila perjanjian perdamaian, hal itu dapat menjadi pertimbangan hakim dalam memberikan putusan saat perkara tersebut saat diperiksa di pengadilan.
Lebih jauh Arist Merdeka Sirait mengatakan, “Mengingat kejahatan seksual merupakan tindak pidana luar biasa (extraordinary crime), dan khusus, maka penanganannya pun harus luar biasa cepat, khusus dan berkeadilan. Tidak ada kata damai. Oleh sebab itu, Polres Tapsel tidak boleh ragu menerapkan UU RI No. 18 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU RI No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman hukuman minimal 10 tahun penjara, dan maksimal 20 tahun penjara, dan dapat ditambah dengan hukuman seumur hidup. Predator dan monster kejahatan anak harus ditangani dengan cepat dan berkeadilan bagi korban.” Ujar Sirait melalu telepon selular, Jumat (07/05/2021)
(MS/ed. MN-Red)
Discussion about this post