LasserNewsToday, Lingga (Kepri) |
Kegiatan perdagangan kayu olahan berupa papan, yang dikenal dengan sebutan jenis ‘resak’, kembali disorot media yang beraktivitas di Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri).
Dilansir dari media Lidiknews.co.id, yang ditayang pada Minggu (07/02/2021) berjudul: “Maraknya Illegal Logging, Steakholder Terkait Dipertanyakan”.
“Aktivitas (kegiatan) illegal logging papan panjang jenis kayu resak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kapal kayu berkapasitas puluhan bahkan hingga ratusan ton tersebut sudah berlangsung sejak tiga tahun belakangan hingga kini.” Ucap narasumber berinisial “J”.
Masih dikutip dari laman Lidiknews.co.id pada terbitan berita tersebut narasumber berinisial “J” lebih jauh mengatakan, “Ada juga menjelaskan, bahwa dugaan adanya koordinasi yang baik antar pihak steakholder terkait dengan beberapa pengusaha illegal logging tersebut, disinyalir terlihat jelas hingga kini berjalan lancar-lancar saja, baik di daratan maupun di laut, hingga sampai ke tujuan pusat penampungan, yakni beberapa pengusaha pembuatan kapal kayu di Desa Bakong, Kecamatan Singkep Barat. Sumber bahan baku berjenis kayu resak berukuran belasan hingga puluhan meter panjangnya ini, diduga diperoleh dan dijarah dari kawasan hutan perbukitan dan pegunungan Daik pusat ibu kota Kabupaten Lingga. Hal tersebut diduga kuat termasuk dalam kategori wilayah kawasan Hutan Lindung.”
Dengan adanya informasi yang diberikan oleh media tersebut, sebaiknya aparatur berkompeten segera eksen (action-Red), melakukan apa yang mestinya diperbuat, segera bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku.
Maka dari itu, kegiatan penebangan kayu, yang diduga tidak mengikuti peraturan dan/atau perundang-undangan yang berlaku, selalu dikaitkan dengan ‘sebagai mata pencaharian warga’, demikian yang sering didengar oleh awak media yang diucapkan sebagai upaya melegalkan kegiatan yang diduga illegal logging dimaksud.
Kita yang hidup di Negara Republik Indonesia yang menganut paham bahwa ‘Hukum adalah Panglima Tertinggi’, seharusnya kita memahami bahwa ‘perbuatan melawan dan melanggar hukum itu, harus dikenakan sanksi’, dan itu adalah harga mati.
Untuk itu, diharapkan kepada pihak-pihak berkompeten dalam hal penegakkan hukum, khususnya yang terkait kegiatan ’illegal logging’, segera melaksanakan kewajibannya untuk menertibkan hal dimaksud. Terkait dengan ucapan orang-orang tertentu bahwa ‘ini sudah merupakan mata pencaharian warga dan atau masyarakat’, sesuai Undang-Undang Dasar 1945, Negara harus bertanggung jawab untuk menciptakan lapangan kerja.
Padahal, perbuatan penebangan kayu yang secara liar atau tanpa izin resmi, merupakan pelanggaran Pasal 50 ayat (3) huruf e, Uundang-Undang Nomor: 41 Tahun 1999, diatur di Pasal 78 ayat (5), dengan sanksi pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak 5 miliar rupiah. Tentang menebang pohon, memanen atau memungut hasil hutan tanpa izin, dan melakukan pembalakan/penebangan liar (illegal logging).
Termasuk pebisnis nakal (pembeli kayu illegal logging-red) yang dengan sengaja mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan (kayu) yang tidak dilengkapi surat keterangan sah hasil hutan, pembeli ini akan dijerat Pasal 12 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013. Namun jual beli hasil penebangan liar diduga masih terus terjadi. (Sumber: DPC Ajoi Lingga /Tim).
(Awalludin/ed. MN-Red)
Discussion about this post