Dari segi skill mengemudi memang sepertinya sopir Indonesia lebih unggul, karena ruas jalan yang ada di negara tercinta ini masih didominasi oleh aspal yang rusak dan kondisi jalan yang berlubang. Tapi kalau soal etika, sopir mobil di Indonesia kalah telak dari Jerman.
Seperti yang terjadi di Jerman baru-baru ini disebuah jalan tol. Kita semua tahu bahwa jalan tol tidak memiliki jalur alternatif yang dapat digunakan untuk mengalihkan arus lalu lintas apabila telah terjadi kecelakaan. Memang tak selamanya jalur tol yang dikenal sebagai jalur bebas hambatan ini benar-benar bebas hambatan. Kondisi aspal yang mulus membuat beberapa pengendara tertarik untuk memacu mobilnya lebih cepat lagi, hingga tak jarang pula terjadi kecelakaan. Kecelakaan yang menimbulkan kemacetan parah di jalan tol tak hanya terjadi di Indonesia namun juga di berbagai negara, salah satunya seperti yang terjadi dinegeri der Panzer, Jerman.

Di jalan tol negara Jerman, apabila telah terjadi kecelakaan maka seluruh pengendara memiliki inisiatif untuk memarkirkan kendaraannya dipinggir jalan. Tujuannya agar memberikan ruas kosong ditengahnya yang dapat digunakan sebagai jalur mobil darurat atau ambulan agar tidak terjebak dari kemacetan panjang dan dapat menolong korban tepat waktu. Namun ternyata apa yang dilakukan oleh pengendara di Jerman ini bukan hanya karena ada kecelakaan saja, ketika mereka mendengar suara sirene mobil ambulan atau polisi mereka langsung tanggap dengan mengurangi kecepatan dan meminggirkan kendaraannya ketepi jalan. Gunanya untuk mempermudah mobil darurat melintasi jalan itu.
Ternyata aksi yang dilakukan para sopir di Jerman itu dinamakan dengan istilah ‘Rettungsgasse’. Ketika para pengendara mendengar suara sirene apapun baik mobil ambulan maupun mobil polisi, maka si pengendara wajib meminggirkan kendaraannya ke tepi jalan.
Etika berkendara ini memang sudah diterapka secara turun-temurun oleh warga Jerman, sebab mereka selalu mendapatkan pembelajaran dan proses ujian mengenai etika berkendara tersebut ketika sedang mengajukan perolehan Surat Ijin Mengemudi (SIM). Untuk memiliki SIM di negara Jerman memang terbilang sangat sulit, selain harus mengikuti ujian teori pemohon SIM juga wajib mengikuti tes mengemudi selama 12 jam hingga dinyatakan lulus. Dan biaya untuk mendapatkan SIM tersebut juga tidak murah yaitu hampir sebesar Rp 20 juta. Coba bayangkan kalau SIM yang diperoleh dengan ujian ekstra ketat dan harga yang mahal itu dicabut hanya karena tak mengindahkan suara sirene mobil ambulan dijalan.
Lain halnya dengan apa yang dilakukan para sopir yang ada di Indonesia. Begitu mendengar suara sirene bukannya malah minggir tapi malah mengikuti mobil emergensi dari arah belakang untuk menghindari macet.

Walaupun jalan tol di Jerman ukurannya lebih kecil dari jalan tol yang ada di Indonesia, namun para pengendara selalu mengedepankan etika. Walau dalam keadaan padat, pengendara selalu bersedia untuk meminggirkan mobilnya ke tepi jalan apabila mendengar suara sirene pemadam kebakaran, mobil ambulan dan lain-lain.
Sudah seharusnya apa yang diterapkan para pengendara di Jerman tersebut menjadi pelajaran bagi para sopir yang ada di Indonesia.
Discussion about this post